Sejarah Suku Gayo ~ Suku bangsa ini berdiam di Kabupaten Aceh Tengah. Sebagian lain tinggal di Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Timur, terutama di sekitar Danau Laut Tawar, di sela-sela pegunungan Bukit Barisan, dan di sekitar Hulu Sungai Peureulak dan Jamboayee.
Orang Gayo terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu Gayo Laut, Gayo Serbejadi, dan Gayo Kalul. Warga masyarakat Gayo Laut dan Gayo Deret berjumlah sekitar 108.000 jiwa, dan berdiam di Kabupaten Aceh Tengah. Gayo Lues atau Gayo Belang berjumlah sekitar 36.000 jiwa dan berdiam di Kabupaten Aceh Tenggara. Gayo Serbejadi atau Gayo Semamah dan Gayo Kalul berjumlah sekitar 6.000 jiwa, dan berdiam di Kabupaten Aceh Timur. Seluruhnya berjumlah sekitar 120.000 jiwa.
Nama Gayo berasal dari kata Kayo yang berarti "takut" atau melarikan diri. Menurut sementara orang pada waktu agama Islam masuk sebagian penduduk pesisir melarikan diri ke pedalaman dan bergabung dengan orang pedalaman. Setelah akhirnya mereka mau juga menerima agama Islam, nama kayo sudah terlanjur melekat menjadi mereka. Lama-lama nama itu berubah menjadi Gayo.
Orang Gayo terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu Gayo Laut, Gayo Serbejadi, dan Gayo Kalul. Warga masyarakat Gayo Laut dan Gayo Deret berjumlah sekitar 108.000 jiwa, dan berdiam di Kabupaten Aceh Tengah. Gayo Lues atau Gayo Belang berjumlah sekitar 36.000 jiwa dan berdiam di Kabupaten Aceh Tenggara. Gayo Serbejadi atau Gayo Semamah dan Gayo Kalul berjumlah sekitar 6.000 jiwa, dan berdiam di Kabupaten Aceh Timur. Seluruhnya berjumlah sekitar 120.000 jiwa.
Nama Gayo berasal dari kata Kayo yang berarti "takut" atau melarikan diri. Menurut sementara orang pada waktu agama Islam masuk sebagian penduduk pesisir melarikan diri ke pedalaman dan bergabung dengan orang pedalaman. Setelah akhirnya mereka mau juga menerima agama Islam, nama kayo sudah terlanjur melekat menjadi mereka. Lama-lama nama itu berubah menjadi Gayo.
Bahasa Suku Gayo
Bahasa Gayo termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, dari sub-rumpun Hesperonesia. Bahasa Gayo juga terpengaruh oleh bahasa Aceh, seperti pada bahasa kelompok Gayo Kalul dan Serbejadi. Bahasa Gayo terdiri dari beberapa dialek, seperti dialek Gayo Lut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret, lalu dialek Gayo Lues yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lues dan Serbejadi.
Kemasyarakatan, Kekerabatan, dan Kekeluargaan Suku Gayo
Kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut kampong (pada masa sekarang sudah disebut desa) yang dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa buah kampung disebut kemukiman yang dikepalai oleh seorang mukim. Sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan. Dalam setiap kampung ada unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat. Pada masa lalu unsurnya terdiri atas reje, petue, imeum, dan rayat, dan pada masa sekarang terdiri atas gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
Orang Gayo menganut sistem perkawinan eksogami belah (klen). Adat menetap sesudah kawin adalah virilokal. Pihak wanita menyebut perkawinan itu juelen (jualan), sedangkan pihak laki-laki menyebut ango. Pihak laki-laki harus membayar sejumlah unyuk atau teniron (permintaan), selain mahar yang harus dibayarkan menurut ajaran agama Islam. Selain adat menetap virilokal (disekitar kediaman orang tua suami) orang Gayo juga mengenal adat menetap uksorilokal (disekitar kediaman orang tua si isteri) yang disebut angkap.
Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Sebelum pindah ke rumah sendiri keluarga inti bergabung dengan keluarga luas terbatas yang disebut sara dapur. Dulu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara rumah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen).
Sekarang keluarga inti mendiami rumah keluarga sendiri-sendiri. Pada masa sekarang pelapisan sosial dalam masyarakat suku Gayo tidak begitu jelas. Dulu memang dikenal beberapa lapisan sosial, yaitu golongan pemimpin yang terdiri dari reje, penghulu, dan imem, lalu di bawahnya adalah rayat atau suderee (rakyat biasa), dan kemudian ada pula lapisan paling bawah yang disebut temuluk (budak).
Orang Gayo menganut sistem perkawinan eksogami belah (klen). Adat menetap sesudah kawin adalah virilokal. Pihak wanita menyebut perkawinan itu juelen (jualan), sedangkan pihak laki-laki menyebut ango. Pihak laki-laki harus membayar sejumlah unyuk atau teniron (permintaan), selain mahar yang harus dibayarkan menurut ajaran agama Islam. Selain adat menetap virilokal (disekitar kediaman orang tua suami) orang Gayo juga mengenal adat menetap uksorilokal (disekitar kediaman orang tua si isteri) yang disebut angkap.
Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Sebelum pindah ke rumah sendiri keluarga inti bergabung dengan keluarga luas terbatas yang disebut sara dapur. Dulu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara rumah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen).
Sekarang keluarga inti mendiami rumah keluarga sendiri-sendiri. Pada masa sekarang pelapisan sosial dalam masyarakat suku Gayo tidak begitu jelas. Dulu memang dikenal beberapa lapisan sosial, yaitu golongan pemimpin yang terdiri dari reje, penghulu, dan imem, lalu di bawahnya adalah rayat atau suderee (rakyat biasa), dan kemudian ada pula lapisan paling bawah yang disebut temuluk (budak).
Baca juga Suku Lainnya Di Sumatera :
Mata Pencaharian Suku Gayo
Mata Pencaharian utama orang Gayo adalah bertani padi di sawah. Walaupun begitu, pertanian ladang sudah ada sejak dulu, yaitu untuk bertanam kepile (ketela), gadung (ubi kayu), penggele (labu), terong, Cabe, jagung, pisang. Tanaman lain seperti tembakau, kopi, tebu, kentang, dan kol sudah lama pula mereka kenal. Dulu pekerjaan berat dikerjakan bersama-sama secara alung-tulung (gotong royong). Untuk mengerjakan pertanian di sawah mereka menggunakan bajak yang ditarik oleh kuda. Peralatan hidup sehari-hari kebanyakan mereka buat dari tanah liat (gerabah), selain mengembangkan kerajinan anyaman dari berbagai jenis pandan dan bambu, serta membuat barang berukir dari kayu.
Agama Dan Kepercayaan Suku Gayo
Pada masa sekarang orang Gayo termasuk pemeluk agama Islam yang taat. Akan tetapi sebagian dari mereka masih mencampurkannya dengan kepercayaan asli, seperti yang nampak pada pemujaan kuburan, praktik ilmu gaib, guna-guna, pemanis, dan sebagainya.
Kesenian Dan Kebudayaan Suku Gayo
Kesenian Suku Gayo yang terkenal adalah tari saman dan seni teater sastra yang disebut didong. Awalnya kesenian saman dan didong ini digunakan untuk dakwah, menyiarkan agama Islam, namun dalam perkembangan berikutnya didong juga digunakan masyarakat untuk menyampaikan kritik sosial dan politik. Nilai budaya yang cukup penting mempelajari orang Gayo adalah prinsip hidup yang disebut mukenel (harga diri) yang mendorong orang Gayo untuk hidup bersikekemelen (kompetitif) di dalam dan di luar masyarakatnya. [Suku Dunia]
loading...
0 Response to "Sejarah Suku Gayo"
Post a Comment