Sejarah Suku Rejang ~ Suku bangsa ini disebut juga orang Jang, Tun Jang atau Rejang Empat Petulai. Mereka sendiri menyebut diri keme tun jang, "kami orang jang", yaitu nama seorang biksu yang dianggap menjadi cikal bakal mereka. Orang Rejang beranggapan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Jawa yang dibawa oleh empat orang pangeran. Keempat pangeran itulah yang menurunkan empat petulai, yaitu klen patrilineal utama orang Rejang.
Suku bangsa ini berdiam di wilayah Kabupaten Rejang Lebong yang terletak di bagian timur Provinsi Bengkulu. Wilayah tersebut mencakup sebagian pegunungan Bukit Barisan. Orang Rejang suka pula menyebut diri orang Lebong. Berasal dari kata telebong (berkumpul). menurut tambo (sejarah lisan) mereka berasal dari Bandar Cina (Palembang, penulis) yang datang ke Pagaruyung, Sumatera Barat, dan menjadi orang Minangkabau. Sebagian lagi pergi ke lembah Ranah Sikelawi di pegunungan Bukit Barisan dan menetap di sana menjadi Orang Rejang. Sebagian lagi berdiam di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, yaitu di daerah perbatasan dengan Provinsi Bengkulu, tepatnya di Kabupaten Lahat. Ciri-ciri masyarakat dan kebudayaan Rejang di Lahat ini sama dengan orang Rejang di Provinsi Bengkulu.
Suku bangsa ini berdiam di wilayah Kabupaten Rejang Lebong yang terletak di bagian timur Provinsi Bengkulu. Wilayah tersebut mencakup sebagian pegunungan Bukit Barisan. Orang Rejang suka pula menyebut diri orang Lebong. Berasal dari kata telebong (berkumpul). menurut tambo (sejarah lisan) mereka berasal dari Bandar Cina (Palembang, penulis) yang datang ke Pagaruyung, Sumatera Barat, dan menjadi orang Minangkabau. Sebagian lagi pergi ke lembah Ranah Sikelawi di pegunungan Bukit Barisan dan menetap di sana menjadi Orang Rejang. Sebagian lagi berdiam di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, yaitu di daerah perbatasan dengan Provinsi Bengkulu, tepatnya di Kabupaten Lahat. Ciri-ciri masyarakat dan kebudayaan Rejang di Lahat ini sama dengan orang Rejang di Provinsi Bengkulu.
Mata Pencaharian Suku Rejang
Masyarakat ini hidup dari pertanian di sawah dan ladang, mereka menanam padi, sayur-sayuran dan buah-buahan. Tanah mereka juga subur untuk kopi, teh, lada dan sebagainya. Dulu masyarakat ini lebih mengutamakan mata pencaharian pertanian perladangan terbang bakar dan berpindah-pindah.
Kekerabatan Suku Rejang
Prinsip hubungan kekerabatan Suku Rejang adalah bilateral, walaupun sistem keturunan mereka cenderung patrilineal. Adat menetap sesudah kawin yang mereka sebut duduk letok (menentukan tempat tinggal) ditentukan berdasarkan asen (mufakat) oleh kedua belah pihak. Asen ini ada beberapa macam. Bentuk kekerabatan lama adalah keluarga luas yang disebut tumbang. Antara satu tumbang dengan tumbang tertentu masih ada hubungan petulai (saudara) dan disebut sebagai kelompok satu ketumbai atau sukau (seperti suku di Minangkabau, hanya di sini sifatnya patrilineal). Beberapa ketumbai atau sukau berdiam di sebuah sadei (dusun).
Masyarakat Suku Rejang
Masyarakat Suku Rejang mengenal kesatuan sosial yang bersifat teritorial genealogis yang disebut mego atau marga atau bang mego. Kesatuan sosial ini berasal dari kelompok keturunan Sutan Sriduni, cikal bakal mereka. Bang Mego asal ada empat, yaitu Tubai, Bermani, Jekalang dan Selupuak. Pada masa sekarang jumlah bang mego itu sudah bertambah, namun pengaruh yang asli masih kuat, mereka disebut yang tiang empat, limo dengan rajo. Pada masa dulu merekalah yang memilih dan menunjuk seorang raja.
Pada masa dulu masyarakat Rejang mengenal adanya pelapisan sosial. Pertama golongan bangsawan yang terdiri dari raja-raja dan kepala marga. Golongan kedua adalah kepala dusun yang disebut potai, dan ketiga adalah golongan tun dawyo atau orang biasa. Golongan yang dihormati adalah para pedito (pemimpin agama) dan labgea (dukun).
Berdasarkan kesatuan teritorial genealogis di atas maka masyarakat Rejang memiliki empat pemerintahan marga atau mego, masing-masing diperintah oleh seorang pemimpin yang disebut ajai. Setiap Marga terdiri dari 8-32 buah desa yang disebut sadeu atau sadei. Setiap sadei terbentuk dari paling tidak empat kelompok keluarga luas patrilineal yang mereka sebut jurai, jugai, ketumbai, petulai atau sukau. Setiap jurai mempunyai wilayah petalangan atau lahan perladangan sendiri.
Pada masa dulu masyarakat Rejang mengenal adanya pelapisan sosial. Pertama golongan bangsawan yang terdiri dari raja-raja dan kepala marga. Golongan kedua adalah kepala dusun yang disebut potai, dan ketiga adalah golongan tun dawyo atau orang biasa. Golongan yang dihormati adalah para pedito (pemimpin agama) dan labgea (dukun).
Berdasarkan kesatuan teritorial genealogis di atas maka masyarakat Rejang memiliki empat pemerintahan marga atau mego, masing-masing diperintah oleh seorang pemimpin yang disebut ajai. Setiap Marga terdiri dari 8-32 buah desa yang disebut sadeu atau sadei. Setiap sadei terbentuk dari paling tidak empat kelompok keluarga luas patrilineal yang mereka sebut jurai, jugai, ketumbai, petulai atau sukau. Setiap jurai mempunyai wilayah petalangan atau lahan perladangan sendiri.
Agama Dan Kepercayaan Suku Rejang
Sekarang umumnya orang rejang memeluk agama Islam. Tetapi sisa animisme masih ada, misalnya banyak yang masih percaya adanya makhluk halus seperti semat yang hidup bermasyarakat seperti manusia, ada makhluk halus yang disebut diwa yang suka turun ke bumi lewat guniak (bianglala), ada makhluk halus yang suka menampakkan diri dan mengganggu, disebut sebei sebekew. Makhluk halus itu hanya bisa dihadapi oleh dukun dan pedito dengan mengadakan kedurai (kenduri dengan mempersembahkan sesajen).
Bahasa Suku Rejang
Bahasa Rejang disebut baso jang yang memiliki aksara sendiri, disebut kogongo. Bahasa Rejang yang masih cukup asli terdapat di Ranah Sikelawi dan Ranah Lebong, sedangkan yang lain sudah banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Kesenian asli yang pernah berkembang adalah seni bertutur, seperti geritan, mengiben, menyambei, dan berejeong.
Referensi : Lebar 1972, Loeb 1972, Depdikbud 1989
Referensi : Lebar 1972, Loeb 1972, Depdikbud 1989
loading...
0 Response to "Sejarah Suku Rejang Di Sumatera"
Post a Comment