Suku Tolaki
Suku Tolaki adalah suatu komunitas masyarakat yang berdiam di kota Kendari, Konawe dan konawe selatan di Sulawesi Tenggara. Menurut cerita rakyat, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan Konawe. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo. Dari keturunan orang-orang kerajaan inilah yang menjadi masyarakat suku Tolaki sekarang. Pada masa sebelum-sebelumnya orang Tolaki merupakan masyarakat yang nomaden, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, hidup dari hasil berburu dan mencari tempat baru untuk membuka ladang. Mereka percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari daratan china, yaitu dari daerah Yunnan yang bermigrasi ke wilayah ini.
Dalam tradisi orang Tolaki memberi petunjuk bahwa penghuni pertama daratan Sulawesi Tenggara adalah Toono Peiku (ndoka) yang hidup dalam gua-gua dan makanannya adalah Sekam. Orang Tolaki pada umumnya menamakan dirinya Tolahianga yang artinya orang dari langit, yaitu dari Cina. Kalau demikian istilah Hiu dalam bahasa Cina artinya langit dihubungkan dengan kata Heo (Oheo) bahasa Tolaki yang berarti terdampar.
Dalam tradisi orang Tolaki memberi petunjuk bahwa penghuni pertama daratan Sulawesi Tenggara adalah Toono Peiku (ndoka) yang hidup dalam gua-gua dan makanannya adalah Sekam. Orang Tolaki pada umumnya menamakan dirinya Tolahianga yang artinya orang dari langit, yaitu dari Cina. Kalau demikian istilah Hiu dalam bahasa Cina artinya langit dihubungkan dengan kata Heo (Oheo) bahasa Tolaki yang berarti terdampar.
Suku Mekongga
Suku Mekongga, adalah salah suatu komunitas masyarakat adat yang berdiam di kabupaten Kolaka dan sebagian kecil juga terdapat di kabupaten Kolaka Utara Sulawesi Tenggara. Suku Mekongga merupakan salah satu sub-etnik dari suku Tolaki. Menurut orang Tolaki, bahwa orang Mekongga adalah orang Tolaki juga. Istilah Mekongga, konon berasal dari kata "to mekongga", yang berarti "to" berarti "orang" dan "mekongga" berarti "pembunuh burung elang raksasa", jadi kata "to mekongga" berarti "orang yang membunuh burung elang raksasa". Sedangkan burung elang raksasa dalam bahasa Mekongga adalah "Konggaha’a".
Kabupaten Kolaka tempat kediaman suku Mekongga ini disebut juga sebagai "Bumi Mekongga". Di daerah pemukiman orang Mekongga terdapat sebuah gunung yang bernama gunung Mekongga. Menurut orang Mekongga sendiri gunung Mekongga merupakan gunung keramat. Menurut cerita rakyat, di gunung ini terdapat Tebing Putih yang bernama Musero-sero yang merupakan pusat kerajaan jin untuk wilayah Kolaka Utara.
Kabupaten Kolaka tempat kediaman suku Mekongga ini disebut juga sebagai "Bumi Mekongga". Di daerah pemukiman orang Mekongga terdapat sebuah gunung yang bernama gunung Mekongga. Menurut orang Mekongga sendiri gunung Mekongga merupakan gunung keramat. Menurut cerita rakyat, di gunung ini terdapat Tebing Putih yang bernama Musero-sero yang merupakan pusat kerajaan jin untuk wilayah Kolaka Utara.
Suku Buton
Orang Buton atau Butung mendiami pulau Buton atau Pulau Butung yang terletak di sebelah selatan jazirah Sulawesi bagian Tenggara. Secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Orang Buton dikenal sebagai salah satu suku bangsa perantau. Banyak di antara mereka yang tersebar sampai ke Sabah (Malayisa), Pulau Seram, dan Maluku Utara. Mereka memang terkenal sebagai pelaut dan pedagang yang ulet. Populasinya sekarang sekitar 400.000 jiwa. Bahasa Buton digolongkan ahli etnolinguistik klasik, Esser, ke dalam kelompok Muna-Butung. Bahasa Buton terbagi ke dalam beberapa dialek, seperti dialek Butung, Wolio, Wapacana, Cia-Cia, dan Wakatobi. Kemudian semua dialek itu terbagi-bagi lagi ke dalam lebih kurang 22 buah sub-dialek.
Suku Wolio
Suku Wolio adalah suatu suku yang tersebar di kepulauan Buton, Muna dan Kabaena di provinsi Sulawesi Tenggara. Juga terdapat di pulau-pulau kecil di provinsi Selatan. Populasi suku Wolio diperkirakan lebih dari 30.000 orang. Suku Wolio berbicara dengan bahasa Wolio. Bahasa Wolio merupakan sub-bahasa Buton-Muna, yang termasuk cabang bahasa Austronesia. Menurut para peneliti bahwa suku Wolio ini merupakan bagian dari sub-suku Buton. Dikatakan bahwa dahulunya orang Wolio juga merupakan keturunan dari Kerajaan Buton yang sejak abad 15 menguasai wilayah Buton. Hingga saat ini bahasa Wolio masih dipakai oleh masyarakat khususnya yang ada di Kota Bau-Bau, namum bahasa Wolio ini tetap dikenal oleh masyarakat dari berbagai penjuru daerah bekas pemerintahan kerajaan atau kesultanan Buton.
Suku Muna
Suku bangsa Muna yang sering juga disebut Tomuna menetap di Pulau Muna. Daerah mereka dalam wilayah kabupaten Muna dan Muna Barat, yang terletak di sebelah selatan jazirah Sulawesi Tenggara. Pada zaman dulu Pulau Muna termasuk dalam wilayah Kesultanan Butung (Buton). Ahli etnolinguistik klasik, Esser menggolongkan bahasa Muna ke dalam kelompok bahasa Muna-Buton. Bahasa ini terbagi lagi menjadi beberapa dialek, seperti Dialek Tiworo, Mawasangka, Gu, Kotobengke, Silompu dan Kadatua. Jumlah populasinya sekitar 300.000 jiwa. Orang Muna kebanyakan bekerja sebagai nelayan dan petani di ladang-ladang dengan tanaman utamanya jagung. Selain itu mereka juga menanam ubi, tebu, kelapa dan sayur-sayuran. Makanan khas orang Muna yang terkenal yaitu Kabuto yang terbuat dari bahan ubi. Tanaman komoditi ekspor mereka adalah kopi, tembakau, cengkeh dan kapuk.
Suku Moronene
Suku Moronene adalah suatu suku bangsa yang mendiami wilayah pada bagian ujung selatan jazirah Sulawesi Tenggara. Sebelum kata Moronene, digunakan Wonua Bombana/Wita Moronene, yaitu kerajaan Moronene seperti yang dituturkan dalam kada (suatu legenda dalam sastra moronene). Didalam kada dituturkan bahwa kerajaan Moronene diperintah oleh seorang Raja yang bernama Tongki Pu’u Wonua. Tidak diketahui dari mana asalnya dan siapa orangnya, hanya dituturkan bahwa beliau adalah seorang keturunan Raja dari sebuah kerajaan. Nama Moronene telah lazim digunakan untuk nama bahasa dan nama suku bangsa yang dahulunya terhimpun dalam satu wadah Kerajaan yaitu Kerajaan Moronene. Secara etimologis istilah Moronene berasal dari dua kata yaitu moro yang artinya sejenis, serupa, dan kata nene adalah nama tumbuhan resam batangnya dapat dibuat pengikat pagar, atap dan lain-lain.
Suku Kabaena
Suku Kabaena adalah suku yang bermukim di pulau Kabaena kabupaten Baombana provinsi Sulawesi Tenggara. Suku Kabaena hidup di pulau yang sepanjang garis pantainya banyak bisa ditemukan hamparan batu-batu permata biru yang berkilauan terkena sinar matahari. Selain itu di pulau ini diduga banyak terdapat kandungan emas. Pulau Kabaena ini juga menjadi salah satu tujuan wisata bagi para wisatawan asing maupun lokal. Karena keindahan pulau ini sudah terkenal sebagai salah satu tempat wisata di pulau Sulawesi. Di pulau Kabaena selain suku Kabaena sebagai penduduk asli pulau ini, juga ada etnis lain yang menghuni pulau ini, yaitu suku Bajo yang bermukim di kecamatan Kabaena Barat.
Suku Wawonii
Suku ini terdapat di pulau Wawonii yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Menurut istilah kata "Wawonii" diambil dari kata Wawo berarti di atas dan nii yang berarti kelapa. Menurut cerita, nenek moyang Orang Wawonii berasal dari kampung Lasolo dan Soropia (Torete) dan daratan Buton Utara di kampung Kulisusu. Mereka telah mendiami pulau ini sejak berabad-abad yang lalu. Suku Wawonii juga terkenal dengan ilmu hitam (santet) yang dapat dengan mudah melumpuhkan lawannya. Tetapi ilmu ini sudah jarang digunakan oleh sebagian orang Wawonii karena ilmu itu hanya bisa digunakan oleh orang tertentu saja.
Suku Bajau
Suku bangsa yang satu ini sangat pandai menyesuaikan diri dengan kehidupan di perairan Nusantara, bahkan sampai ke perairan kepulauan Filipina bagian selatan. Mereka hidup berpindah-pindah di perairan laut dan teluk di sekitar Pulau Sulawesi, Kalimantan, Sumatera bagian timur, Kepulauan Maluku bagian utara dan Kepulauan Nusa Tenggara. Jumlah orang Bajau di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 jiwa. Kelompok yang paling banyak jumlahnya mungkin berada di sekitar Sulawesi Tenggara, yaitu sekitar 25.000 jiwa.
Suku Bugis
Suku Bugis merupakan suku asli dari Sulawesi Selatan. Suku Bugis terkenal sebagai suku bangsa yang senang merantau dalam urusan perdagangan. Itulah sebabnya jika ditanah Sulawesi Tenggara terdapat banyak Suku Bugis yang menetap dan tersebar di beberapa Kabupaten antara lain terdapat di Kota Kendari, Kabupaten Bombana, Konawe, Konawe Selatan, Kabaena dan beberapa Kabupaten lainnya.
Referensi : Berbagai Sumber
loading...
0 Response to "Ragam Suku Di Sulawesi Tenggara"
Post a Comment