Suku Dunia ~ Orang Asmat berdiam di Papua bagian selatan, yaitu sekitar sungai besar seperti Aswets, Pomats, Undir, Bets, Sirets, dan Brazza yang semuanya bermuara ke Teluk Papua (Laut Arafuru). Sungai-sungai itu dapat dilayari jauh ke pedalaman, sampai sekitar 50 km pada wakt air pasang naik. Karena daerah ini demikian banyak dialiri oleh sungai maka tanahnya berbentuk rawa-rawa yang sangat luas. Tanah ini tidak menguntungkan untuk pertanian serta menyebabkan orang Asmat lama sekali terasing dari peradaban dunia luar.
Namun disana mereka bisa memperoleh cukup bahan makanan, terutama dari pohon sagu yang tumbuh liar dan subur di mana-mana, serta binatang buruan yang melengkapi kebutuhan mereka akan protein hewani seperti babi hutan, kasuari, kuskus, berbagai macam burung, serta berbagai macam ikan dan udang di sungai.
Namun disana mereka bisa memperoleh cukup bahan makanan, terutama dari pohon sagu yang tumbuh liar dan subur di mana-mana, serta binatang buruan yang melengkapi kebutuhan mereka akan protein hewani seperti babi hutan, kasuari, kuskus, berbagai macam burung, serta berbagai macam ikan dan udang di sungai.
Kehidupan Bermasyarakat Dalam Suku Asmat
Orang Asmat mendirikan pemukiman dan kampung-kampung mereka di pinggir sungai, karena sungai merupakan sarana transportasi terpenting, serta memudahkan untuk mengetahui kedatangan orang lain yang mendekati kampung mereka. Setiap kampung ditandai oleh adanya rumah ye, je, atau yeu, yaitu rumah bujang yang dihuni oleh kaum lelakinya. Disekitarnya berdiri rumah-rumah keluarga batih yang dihuni oleh kaum perempuan serta anak-anak yang masih diasuh oleh ibunya.
Rumah yeu ini menjadi pusat kegiatan sosial religius masyarakat suku Asmat, karena disinilah mereka berkumpul setiap ada kegiatan sosial yang memerlukan musyawarah, serta kegiatan religius yang melibatkan seluruh penghuni kampung. Rumah ini khusus dihuni oleh kaum lelaki dewasa dan anak lelaki yang sudah balig (mengalami masa pubertas), kaum wanita baru boleh masuk jika ada peristiwa penting yang mengizinkan mereka masuk. Pada zaman dahulu kaum lelaki merancang pertahanan kampung dan menyusun strategi pengayauan di rumah yeu ini.
Dulu permukiman orang Asmat sering berpindah-pindah, terutama di sekitar hutan sagu milik kaum mereka. Pada masa sekarang desa-desa Asmat relatif tetap dan wilayah mereka terbagi ke dalam beberapa wilayah seperti Agats, Sawa-Erma, Atsy dan Pantai Kasuari (Pirimapun), sebagian lagi menghuni beberapa desa di wilayah Citak-Mitak (Senggo). Keterbukaan wilayah Asmat sekarang berkat adanya unsur seni mereka yang menjadi daya tarik dan kekaguman dunia, yaitu seni mengukir patung dan panil dari kayu yang dianggap orang sebagai salah satu seni kesenian primitif yang sempat bertahan.
Orang Asmat sebenarnya terbagi lagi ke dalam beberapa sub-kelompok suku bangsa yang timbul karena adanya federasi-federasi desa dalam zaman peperangan antar kampung dan kelompok dulu. Federasi adat itu kadang-kadang juga ditandai oleh kesamaan dialek dan simbol-simbol kesatuan sosial mitologis. Sub-sub kelompok tersebut antara lain : Unisirau, Bisman, Simai, Emari-Ducur, Betch-Mbup, Kaimo, Safan, Brazza dan Joerat.
Keluarga-keluarga Asmat biasanya hidup dalam kelompok keluarga batih, yaitu gabungan dari keluarga inti senior dengan beberapa keluarga inti yuniornya yang bertempat tinggal dalam sebuah rumah keluarga (cem). Akan tetapi masing-masing keluarga inti itu memiliki tungku api atau dapur (yousa) sendiri-sendiri, tempat si isteri memasak makanan untuk suami dan anak-anaknya. Masyarakat Asmat menganut prinsip hubungan kekerabatan yang patrilineal sifatnya. Akan tetapi dalam pola tempat tinggal bisa saja seorang lelaki ikut dengan kelompok batih isterinya.
Keluarga-keluarga Batih itu tergabung lagi ke dalam kelompok keluarga luas patrilineal sampai kepada cikal bakal yang pertama beberapa tingkatan ke atas. Kelompok keluarga luas ini disebut yeu, dan bersama-sama dengan yeu lain membentuk federasi desa dan mendirikan rumah komunal federasi yang juga disebut yeu. Dari pada menghabiskan waktunya di rumah keluarga (cem) lelaki Asmat lebih banyak berada di rumah yeu, kecuali sedang mengolah sagu atau pergi berburu atau berperang. Dalam sebuah desa kadang kala ada dua atau lebih rumah yeu, berarti dalam desa itu ada dua atau lebih federasi yang membentuk lagi konfederasi teritorial sekampung.
Sistem kepemimpinan orang Asmat lebih ditekankan kepada kemampuan dan kewibawaan seorang lelaki yang mempunyai tubuh perkasa dan memiliki banyak pemgalaman dalam pertempuran. Akan tetapi dalam kehidupan sosial politik sehari-hari setiap kampung biasanya mempunyai seorang pemimpin adat yang disebut yeu iwir, dan masing-masing federasi yeu mempunyai seorang pemimpin yang disebut tese wu. Para pemimpin adat ini dibantu oleh sejumlah penasehat yang disebut arak amsewir, yaitu orang tua-tua bijak yang kaya dengan pengalaman.
Walaupun setiap orang dianggap mampu berhubungan dengan dunia roh yang mereka yakini, akan tetapi mereka juga memiliki seorang tokoh yang dianggap pemimpin dalam masalah upacara keagamaan, tokoh ini disebut arapak tor. Pelapisan sosial Asmat lebih banyak ditentukan oleh kesenioran seseorang tokoh yang disegani karena jasa dan keperkasaannya. Akan tetapi mereka juga menaruh rasa segan dan hormat kepada tokog-tokoh pengukir (wow ipits), tokoh pendongeng cerita-cerita suci (pirmer wur), tokoh pemain tifa dan penyanyi (eme wu), dan tokoh diplomatik yang sering menjadi penghubung antar kelompok (emak fakau).
Rumah yeu ini menjadi pusat kegiatan sosial religius masyarakat suku Asmat, karena disinilah mereka berkumpul setiap ada kegiatan sosial yang memerlukan musyawarah, serta kegiatan religius yang melibatkan seluruh penghuni kampung. Rumah ini khusus dihuni oleh kaum lelaki dewasa dan anak lelaki yang sudah balig (mengalami masa pubertas), kaum wanita baru boleh masuk jika ada peristiwa penting yang mengizinkan mereka masuk. Pada zaman dahulu kaum lelaki merancang pertahanan kampung dan menyusun strategi pengayauan di rumah yeu ini.
Dulu permukiman orang Asmat sering berpindah-pindah, terutama di sekitar hutan sagu milik kaum mereka. Pada masa sekarang desa-desa Asmat relatif tetap dan wilayah mereka terbagi ke dalam beberapa wilayah seperti Agats, Sawa-Erma, Atsy dan Pantai Kasuari (Pirimapun), sebagian lagi menghuni beberapa desa di wilayah Citak-Mitak (Senggo). Keterbukaan wilayah Asmat sekarang berkat adanya unsur seni mereka yang menjadi daya tarik dan kekaguman dunia, yaitu seni mengukir patung dan panil dari kayu yang dianggap orang sebagai salah satu seni kesenian primitif yang sempat bertahan.
Orang Asmat sebenarnya terbagi lagi ke dalam beberapa sub-kelompok suku bangsa yang timbul karena adanya federasi-federasi desa dalam zaman peperangan antar kampung dan kelompok dulu. Federasi adat itu kadang-kadang juga ditandai oleh kesamaan dialek dan simbol-simbol kesatuan sosial mitologis. Sub-sub kelompok tersebut antara lain : Unisirau, Bisman, Simai, Emari-Ducur, Betch-Mbup, Kaimo, Safan, Brazza dan Joerat.
Keluarga-keluarga Asmat biasanya hidup dalam kelompok keluarga batih, yaitu gabungan dari keluarga inti senior dengan beberapa keluarga inti yuniornya yang bertempat tinggal dalam sebuah rumah keluarga (cem). Akan tetapi masing-masing keluarga inti itu memiliki tungku api atau dapur (yousa) sendiri-sendiri, tempat si isteri memasak makanan untuk suami dan anak-anaknya. Masyarakat Asmat menganut prinsip hubungan kekerabatan yang patrilineal sifatnya. Akan tetapi dalam pola tempat tinggal bisa saja seorang lelaki ikut dengan kelompok batih isterinya.
Keluarga-keluarga Batih itu tergabung lagi ke dalam kelompok keluarga luas patrilineal sampai kepada cikal bakal yang pertama beberapa tingkatan ke atas. Kelompok keluarga luas ini disebut yeu, dan bersama-sama dengan yeu lain membentuk federasi desa dan mendirikan rumah komunal federasi yang juga disebut yeu. Dari pada menghabiskan waktunya di rumah keluarga (cem) lelaki Asmat lebih banyak berada di rumah yeu, kecuali sedang mengolah sagu atau pergi berburu atau berperang. Dalam sebuah desa kadang kala ada dua atau lebih rumah yeu, berarti dalam desa itu ada dua atau lebih federasi yang membentuk lagi konfederasi teritorial sekampung.
Sistem kepemimpinan orang Asmat lebih ditekankan kepada kemampuan dan kewibawaan seorang lelaki yang mempunyai tubuh perkasa dan memiliki banyak pemgalaman dalam pertempuran. Akan tetapi dalam kehidupan sosial politik sehari-hari setiap kampung biasanya mempunyai seorang pemimpin adat yang disebut yeu iwir, dan masing-masing federasi yeu mempunyai seorang pemimpin yang disebut tese wu. Para pemimpin adat ini dibantu oleh sejumlah penasehat yang disebut arak amsewir, yaitu orang tua-tua bijak yang kaya dengan pengalaman.
Walaupun setiap orang dianggap mampu berhubungan dengan dunia roh yang mereka yakini, akan tetapi mereka juga memiliki seorang tokoh yang dianggap pemimpin dalam masalah upacara keagamaan, tokoh ini disebut arapak tor. Pelapisan sosial Asmat lebih banyak ditentukan oleh kesenioran seseorang tokoh yang disegani karena jasa dan keperkasaannya. Akan tetapi mereka juga menaruh rasa segan dan hormat kepada tokog-tokoh pengukir (wow ipits), tokoh pendongeng cerita-cerita suci (pirmer wur), tokoh pemain tifa dan penyanyi (eme wu), dan tokoh diplomatik yang sering menjadi penghubung antar kelompok (emak fakau).
Kebudayaan Dan Kepercayaan Dalam Suku Asmat
Para ahli menyebut kebudayaan Asmat sebagai kebudayaan kayu, ini tidak lain karena orang Asmat benar-benar memanfaatkan pekayuan yang tumbuh sekitar mereka untuk bertahan hidup di tengah alam yang keras itu. Itu pula yang mendorong mereka untuk mewujudkan pemikiran mereka tentang kehidupan keagamaan ke dalam bentuk ukiran kayu dua atau tiga dimensi. Sehingga ukiran-ukiran kayu Asmat dianggap sebagai mengandung simbolisasi pemikiran mereka tentang kepercayaan mereka yang berorientasi kepada pemujaan roh, baik roh nenek moyang, maupun roh-roh alam dan makhluk lain yang dianggap ikut mempengaruhi kehidupan manusi.
Mereka memandang kayu adalah Asmat, dan Asmat adalah pohon, karena pohon tidak ubahnya seperti manusia, akar pohon sebagai halnya kaki bagi manusia, batang pohon bagai halnya badan bagi manusia, dahan dan ranting pohon bagai halnya tangan dan jari-jari pada manusia, buah-buahan bagai halnya kepala bagi manusia. Tumbuhan-tumbuhan dan aneka hewan mempunyai jiwa seperti manusia. Burung yang memakan buah dari pohon tak ubahnya seperti seseorang mengayau kepala orang lain. Namun pada masa sekarang orang Asmat sudah dipengaruhi oleh kebudayaan luar, sebagian dari mereka sudah mengenal agama Katolik. Kebudayaan kayu mereka juga sedang menghadapi perubahan.
Sumber : Budhisantoso 1986, Gerbrands 1961, Sowada 1971, Zegwaard 1955 dan 1959.
Mereka memandang kayu adalah Asmat, dan Asmat adalah pohon, karena pohon tidak ubahnya seperti manusia, akar pohon sebagai halnya kaki bagi manusia, batang pohon bagai halnya badan bagi manusia, dahan dan ranting pohon bagai halnya tangan dan jari-jari pada manusia, buah-buahan bagai halnya kepala bagi manusia. Tumbuhan-tumbuhan dan aneka hewan mempunyai jiwa seperti manusia. Burung yang memakan buah dari pohon tak ubahnya seperti seseorang mengayau kepala orang lain. Namun pada masa sekarang orang Asmat sudah dipengaruhi oleh kebudayaan luar, sebagian dari mereka sudah mengenal agama Katolik. Kebudayaan kayu mereka juga sedang menghadapi perubahan.
Sumber : Budhisantoso 1986, Gerbrands 1961, Sowada 1971, Zegwaard 1955 dan 1959.
loading...
0 Response to "Sejarah Suku Asmat Di Papua"
Post a Comment